ETIKA DAKWAH
·
QS. Ali
Imran/3: 159
Terjemahnya:
“Maka, berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan
mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.”
A.
Makna
Mufradat
ما adalah الموصول اسم yang bermakna tawkid. Ibnu Kaisan berpendapat bahwa ما adalah isim nakirah dalam kedudukan majrur,
sedangkan kata رحمة
adalah badal dari ما.[1]
Kata رحمة berasal dari akar kata رحمة - يرحم - رحم yang
pada dasarnya menunjukkan kepada arti kelembutan hati, belas kasih,
kehalusan. Kata رحمة dalam ayat ini menunjuk kepada Allah swt. sebagai subjek utama
pemberi rahmah.[2]
Maka kalimat فبما رحمة من الله لنت لهم menunjukkan bahwa tatkala Nabi Muhammad saw. bersikap
lemah lembut pada bawahannya pada perang Badar dan beliau tidak
bertindak kasar kepada mereka, maka Allah menyatakan bahwa Muhammad saw. dapat
berbuat demikian hanyalah berkat taufik-Nya semata kepadanya.[3]
Kata " الفظ " berarti bersikap kasar dan keras tabiat dalam bergaul, baik perkataan maupun sikap.[4] Disini ditegaskan bahwa andaikata engkau (Muhammad) bersikap kasar dalam muamalah dengan kaum muslimin, niscaya mereka akan lari atau bubar.
Kata " الغليظ " merupakan kata sifat dan berasal dari يغلظ - غلظ yang digunakan
untuk menyebut keadaan suatu benda atau sikap seseorang, seperti tebal,kasar,dan
berat, atau keras.[5]
Di dalam QS. Ali Imran/3: 159, kata غليظ berarti keras dan memuat pengandaian,
yaitu andaikata Nabi saw. bersikap keras maka pasti pengikutnya menjauhkan
diri.
Kata " انفضوا " berarti mereka bubar. Dalam ayat ini
berarti tentu mereka akan lari. Al-Maraghi menafsirkan ayat ini bahwa kaum
muslimin akan lari meninggalkan engkau (Muhammad) apabila engkau bersikap kasar
dalam menyampaikan syariat Allah.[6]
" فاعفوا عنهم " dalam ayat ini
berarti maafkanlah mereka atau dapat juga diartikan membuka lembaran baru dan
member maaf. “Maaf”, secara harfiah berarti “menghapus”. Memaafkan adalah
menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar.[7]
" واستغفر لهم " berarti mohonkanlah ampunan untuk mereka. Pesan yang terdapat
dalam ayat ini, apabila ingin mencapai yang terbaik dari hasil musyawarah,
hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis dan yang harus mengiringi musyawarah
adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi.[8]
Kata " شاور "dapat berarti
menjelaskan, menyatakan, mengambil sesuatu, atau meminta pendapat.[9]
Dalam QS. Ali Imran/3: 159, kata ini diungkap dalam konteks perintah Allah
kepada Nabi Muhammad saw. agar berlaku lemah lembut dan senantiasa
bermusyawarah.
Yang dimaksud dengan " الامر "
dalam ayat tersebut adalah hendaklah engkau menempuh jalan musyawarah dalam
segala urusanmu. Kendatipun dalam bermusyawarah itu sering terjadi kekeliruan,
namun pada dasarnya tetap menuju ke jalan yang benar dan mendatangkan manfaat.[10]
Makna "
عزم " dalam ayat ini
adalah memutuskan atau keyakinan hati untuk melakukan sesuatu dan
menyelesaikannya.[11]
Maksud "
اتوكل " dalam ayat ini, apabila
engkau telah sepakat dalam bermusyawarah, atau telah melakukan suatu pekerjaan
dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka berserah dirilah
(bertawakkallah) kepada Allah.[12]
Kalimat " ان الله يحب المتوكلين " dalam ayat ini bermakna, orang-orang mempercayakan segala
urusannya hanya kepada Allah, maka Allah akan menolong dan membimbing mereka
kepada yang lebih baik, sesuai dengan apa yang dicita-citakan.[13]
B.
Etika
Dakwah
Pada
ayat diatas disebutkan petunjuk sikap yang diperintahkan untuk dilakukan Nabi
Muhammad saw. dalam menghadapi umatnya, khususnya ketika bermusyawarah atau
menyampaikan syariat agama. Walaupun secara redaksional perintah tersebut
disematkan kepada Nabi saw., namun pesan yang terdapat pada ayat tersebut bisa
berlaku umum bagi tiap muslim yang melakukan musyawarah atau dakwah. Diisyaratkan
pada ayat tersebut mengenai sikap yang harus dilakukan untuk mensukseskan
musyawarah atau dalam menyampaikan syariaat agama, sifat atau sikap tersebut
yaitu sebagai berikut.
1. Lemah lembut
Islam
mengajarkan umatnya agar bersikap lemah lembut dalam berdakwah atau mengajak
kebaikan. Rasulullah saw. dikenal kelemahlembutannya dalam mengemban risalah
Islam. Karena sikap lemah lembut beliau itu pula Islam memiliki daya tarik
sangat kuat.
Kelemahlembutan
Rasul merupakan bagian dari rahmat Allah yang tak terbatas. Kelemahlembutan
adalah sifat yang ditanamkan Tuhan kedalam jiwanya terkait dengan fungsinya
sebagai dai. Sifat ini hendaknya mewarnai kehidupan para dai sebagai pelanjut
risalah dakwah
Bersikap lemah lembut juga merupakan
bagian dari kasih sayang. Salah satu faktor penunjang keberhasilan sebuah
dakwah adalah sang dai memiliki sifat lemah lembut, serta tidak menunjukkan
watak yang keras lagi kasar. Sifat inilah yang senantiasa dipraktikkan oleh
Rasulullah saw. yang seandainya beliau bersikap kasar dalam berdakwah, tentulah
umat manusia yang beliau dakwahi justru akan menjauhkan diri dari beliau.
Dalam ayat ini juga bertemulah
pujian yang tinggi dari Allah swt. terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang
lemah lembut, tidak lekas marah kepada umatnya, yang telah dituntun dan
didiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalahan beberapa orang
yang meninggalkan tugasnya, karena loba akan harta atau sebab yang lainnya,
namun Rasulullah saw. tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa
besar mereka dipimpin. Dalam ayat ini Allah swt. menegaskan sebagai pujian
kepada Rasulullah saw. bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke
dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah sifat rahmah-Nya. Rasa rahmah,
belas kasihan, cinta kasih sayang itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri
beliau, sehingga rahmah itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam
memimpin.
Pada suatu hari ada seorang Badui
yang buang air kecil di Masjid. Melihat kejadian itu para sahabat menjadi
berang, lalu memarahinya. Melihat hal itu, Rasulullah saw. bersabda:
قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي
المَسْجِدِ، فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ، فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ،
أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ، وَلَمْ تُبْعَثُوا
مُعَسِّرِين [14]
Artinya:
“Biarkanlah, dan siramlah bekas air seninya dengan satu
ember atau satu gayung air. Kalian disuruh untuk mempermudah dan bukan untuk
mempersulit.”
Dalam peristiwa ini ada pelajaran
sangat berharga yang harus dipahami oleh para dai. Ada orang buang air kecil di
masjid. Memang ini merupakan pemandangan yang membuat darah mendidih, tetapi
kita dapat melihat bagaimana Rasulullah saw. menyikapi kejadian ini. Rasulullah
membiarkannya dan menyuruh para sahabat agar menyiram bekas air seni itu,
karena Rasulullah saw. mengetahui bahwa perbuatan semacam ini tidak akan
dilakukan, kecuali oleh orang yang baru masuk Islam, dan orang semacam itu
butuh belajar, bukan malah dimarahi dan dimurkai.
Allah swt. berfirman dalam QS.
an-Nisa/4: 94
Terjemahnya:
“Demikian jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah
menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
an-Nisa/4: 94)
Siramlah bekas air seninya dengan
seember air, demikianlah Rasulullah langsung
memberikan solusi, tanpa disertai rasa marah dan benci, bahkan beliau
mendekatinya dengan penuh kasih sayang. Setelah itu beliau bersabda: Kalian
diutus untuk mempermudah dan bukan untuk mempersulit.
Seakan-akan Rasulullah saw. bersabda
kepada setiap muslim, “Sesungguhnya kamu mempunyai tugas untuk berdakwah dengan
bijaksana dan dengan nasihat yang baik.”
Orang-orang seperti orang Badui itu
adalah sasaran dakwah kita. Lalu bagaiman kita akan bisa mendakwahi, jika
sebelumnya sudah memarahi dan menyakitinya? Sesungguhnya, nasihat itu laiknya
obat yang pahit. Oleh karena itu, ia harus disertai dengan sesuatu dari ucapan
yang manis. Sesungguhnya sikap lemah lembut merupakan sesuatu yang akan
menjembatani anatara dai dengan mad’u-nya. Apabila kokoh dalam meletakkan
jembatan itu, maka sang dai akan sampai kepada mad’u sesuai dengan apa
yang diinginkannya. Oleh karena itu, janganlah tergesa-gesa dalam menawarkan
dakwah kepada manusia, sebelum seorang dai meletakkan jembatannya dan
memperkuat serta menghiasinya dengan sikap lemah lembut. [15]
Keharusan bersikap lemah lembut
dipertegas juga oleh QS. Thaha/20: 43-44 yang berbunyi:
Terjemahnya:
“Pergilah kamu kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah
melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”
Ayat ini menjelaskan bahwa nabi Musa
as. Diperintahkan untuk menyampaikan dakwah kepada Firaun yang tiran itu. Ini
berarti bahwa menyampaikan peringatan pun harus dengan lemah lembut. Ayat-ayat
yang menggunakan redaksi “Fabbasysyirhum bi ‘adzabin alim” (Gembirakan
mereka dengan siksa yang pedih), bukan saja mengandung makna ejekan, tetapi
dapat juga mengisyaratkan bahwa peringatan itu bukan untuk menakut-nakuti,
tetapi justru mengandung berita gembira bagi yang mengindahkannya.[16]
Lemah lembut sama sekali bukan kelemahan. Orang yang lemah lembut
sesungguhnya memiliki wibawa yang besar. Ia akan disegani. Kelemahlembutan yang
sejati selalu diikuti oleh kebajikan kesabaran dan penguasaan diri. Orang lemah
lembut akan memiliki pula kebajikan kekuatan, dan keberanian yang tak
tergoncangkan. Ia seperti aliran air yang tenang, tetapi dapat mengikis dan
menghaluskan batu sekasar apa pun.
Tetapi
dalam ayat lain Allah swt. memerintahkan Nabi-Nya untuk menggunakan
sikap keras dan tegas ketika berhujjah dengan kaum munafik.
Allah swt.
berfirman dalam QS. at-Taubah/9: 73 yang berbunyi :
Terjemahnya:
“ Hai Nabi,
berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan
bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah Jahannam. Dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali.”
Ibnu Abbas ra. dalam menafsirkan ayat di atas berkata: “Allah
memerintahkannya (yakni Nabi Muhammad saw.) untuk berjihad (melawan)
orang-orang kafir dengan pedang sedangkan orang-orang munafik dengan lisan dan
menghilangkan sikap lemah lembut terhadap mereka.”[17]
Imam Ar Razi rahimahullah berkata: “Sikap lemah
lembut dan kasih sayang hanya diperbolehkan apabila tidak menyebabkan pengabaian
terhadap salah satu hak Allah. Jika sikap itu membawa kepada kondisi yang
demikian maka tidak diperbolehkan.” Akan tetapi jika hal itu menyebabkan pengabaian
terhadap hak-hak Allah maka dalam hal ini tidak berlaku sikap lemah lembut
melainkan dengan bersikap keras.[18]
Bersikap lemah lembut dalam dakwah bukan berarti tidak punya
pendirian, apalagi bersikap toleran terhadap keburukan. Lemah lembut hanya
suatu cara untuk menyampaikan kebenaran dan mendidik orang lain agar tunduk
kepada kebenaran.
Sebagaimana
juga ditegaskan dalam sabda Rasulullah. saw:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُعَاذٍ
الْعَنْبَرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْمِقْدَامِ وَهُوَ
ابْنُ شُرَيْحِ بْنِ هَانِئٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، زَوْجِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا
يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ»[19]
Artinya:
“Sesungguhnya
lemah lembut itu tidak ada pada sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidaklah
(lemah lembut itu) dicabut dari sesuatu kecuali menjelekkannya.”
Dan Rasullullah juga
bersabda dalam kitab Sahih Muslim:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ سُفْيَانَ،
حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ، عَنْ تَمِيمِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
هِلَالٍ، عَنْ جَرِيرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
«مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ، يُحْرَمِ الْخَيْرَ»[20]
Artinya:
“Barang siapa terhalang dari lemah lembut maka dia
terhalang dari seluruh kebaikan.”
Maka
seorang dai harus memilih cara-cara yang baik dan bermanfaat, dan harus
menjauhi sikap keras dan kasar. Karena sikap keras dan kasar itu, kadang-kadang
mengakibatkan kepada tertolaknya kebenaran, dan mengakibatkan kepada
persilisihan yang keras serta perpecahan di antara sesama manusia. Tujuan
dakwah adalah menjelaskan kebenaran dan berambisi supaya dia menerimanya dan
mendapatkan faedah dari dakwah itu. Bukan tujuan dakwah itu, menampakkan
(memamerkan) keilmuan dan menampakkan bahwa orang yang berdakwah kepada jalan
Allah dan yang berghairah (cemburu)
kepada agama Allah ini, hanya Allah lah yang mengetahui isi hati yang tersembunyi.
Hanya saja tujuan dari dakwah itu adalah menyampaikan seruan Allah dan supaya orang-orang
mendapatkan manfaat dari ucapan orang yang berdakwah.[21]
2.
Pemaaf
Maaf, secara harfiah, berarti
“menghapus”. Memaafkan adalah menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan
pihak lain yang pernah melukai fisik atau perasaan. Maka para dai harus
menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja
ketika berdakwah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang
menyinggung pihak lain. Dan bila hal itu masuk ke dalam hati, maka akan
mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah menjadi pertengkaran.[22]
Memaafkan kesalahan atau perilaku kasar seseorang juga merupakan
akhlak seorang dai yang utama. Ubadah bin Ash Shamit meriwayatkan sebuah
hadits, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Maukah kalian kuberitahu tentang
sesuatu yang dipergunakan Allah untuk memperkokoh bangunan dan meninggikan
derajat?” Para sahabat menjawab: “Mau, ya rasulullah!” Beliau menjelaskan:
“Hendaknya engkau sabar menghadapi gangguan orang bodoh, memaafkan orang yang
berbuat zhalim kepada dirimu, memberi kepada orang yang tidak mau memberi
kepadamu, dan memutuskan hubungan dengan orang yang memutuskannya denganmu.”
(At Thabrani)
3.
Meminta
Ampunan Allah
Orang yang berdakwah harus menyadari
kecerahan atau ketajaman pemikiran, karena analisis akal saja tidaklah cukup.
Artinya, hasil pemikiran akal tidak boleh menghasilkan keputusan yang bisa
melanggar aturan Allah swt. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang terbaik
ketika berdakwah atau musyawarah, hubungan dengan Allah pun harus dijaga.[23]
Oleh karena itu sebagai seorang dai
atau pendakwah hendaklah kita senantiasa memohon ampunan Allah swt, baik untuk
pribadi maupun untuk umat pada umumnya, agar perjalanan dakwah kita senantiasa
diridhai oleh Allah swt.
4.
Bertekad
Bulat dan Tawakal
Firman Allah swt.
Terjemahnya:
Apabila engkau telah membulatkan
tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakal kepada-Nya. (QS. Ali
Imran/3: 159)
Inti dari ayat di atas adalah untuk
membentuk pribadi yang selalu tawakal kepada Allah swt. Apabila langkah telah
diambil, pantang mundur ke belakang, pantangkan berbalik surut, dan serahkan
diri kepada Allah swt. semua hal kita perhitungkan, tetapi dengan tawakal kita
selalu ingat, bahwa ada hal-hal yang terletak di luar perhitungan kita.
Bertawakal artinya menyandarkan diri
sepenuhnya hanya kepada ketentuan Allah SWT. Hal ini dilakukan setelah
mengerahkan semua daya dan upaya semaksimal mungkn, misalnya dengan mengerahkan
segenap kemampuan, harta dan usaha. Setelah semua dilakukan, maka kita harus
bertawakal dan berdoa menunggu datangnya pertolongan Allah dengan sabar dan
penuh pengharapan.
Dengan bertawakal, maka seseorang
akan bersyukur apabila apa yang diusahakan membuahkan hasil sesuai dengan
harapannya. Namun apabila tidak sesuai harapan, maka dia bersabar dan tidak
akan putus harapan sehingga akan berusaha kembali. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berserah diri.[24]
C.
Hikmah atau Pesan Moral
1.
Senantiasa bersikap lemah lembut dalam menghadapi
umat. Sebagaimana kelemahlembutan Rasul merupakan bagian dari rahmat Allah yang
tak terbatas. Kelemahlembutan adalah sifat yang ditanamkan Tuhan ke dalam
jiwanya terkait dengan fungsinya sebagai dai dan sifat ini hendaknya mewarnai
kehidupan para dai sebagai pelanjut risalah dakwah;
2.
Bersikap lapang dada sehingga mudah
memaafkan kesalahan umat;
3.
Membangun komunikasi personal dengan
Allah dengan senantiasa memohon agar Allah mengampuni dosa dan kesalahan umat;
4.
Bermusyawarah dalam menghadapi dan
menyelesaikan urusan mereka;
5.
Mengambil keputusan yang tepat dan
mantap dalam bermusyawarah dengan kebulatan tekad untuk mewujudkannya;
6.
Bertawakal kepada Allah, jika suatu
perencanaan sudah dilakukan dengan cermat dan diputuskan dengan hati yang
mantap.
DAFTAR PUSTAKA
-Bukhari, Muhammad Ibn Isma'il Abu
Abdullah. Sahih al-Bukhari. Juz 1, Beirut: Dar Ibn al-Kasir, 1422.
Ibn Baaz, Abdul Aziz. Majmu
Fatawa wa Maqolat Mutanawwiyah.
Jafar, Iftitah. TAFSIR AYAT
DAKWAH: Pesan, Metode, dan Prinsip Dakwah Inklusif. Cet. I;
Makassar: Mishbah Press. 2010.
-Nabiry, Fathul Bahri. Meneliti
Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i. Cet. I; Jakarta: Amzah, 2008.
-Naisaburi. Gharaibul
Qur’an wa Raghaibul Furqan. Bairut: Dar kutubil ‘ilmiyah.
-Qusyairi, Muslim Ibn al-Hajaj Abu
al-Husain. Sahih Muslim. Juz 2, Bairut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi.
Shihab, M.
Quraish. Membumikan al-Qur’an. Cet.
I; Jakarta: Lentera Hati, 2010.
_______. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur'an. Cet. 7; Jakarta: Lentera Hati, 2006.
-Thabari, Abu
Jafar. Jami’ al-Bayan fii tafsir al-Qur’an . Jilid 14.
Tim Penyusun. Ensiklopedia Al-Qur'an: Kajian Kosa Kata. Cet.
I; Jakarta: Lentera Hati. 2007.
[1] Iftitah Jafar,
TAFSIR AYAT DAKWAH: Pesan, Metode, dan Prinsip Dakwah
Inklusif, (Cet. I. Makassar. Mishbah Press. 2010), h. 62.
[2] Tim Penyusun, Ensiklopedia Al-Qur'an:
Kajian Kosa Kata, (Cet. I. Jakarta. Lentera Hati. 2007). Jil. III, h. 811.
[3]
Iftitah Jafar,
op. cit., h. 63.
[5]
Tim Penyusun, op.
cit., jilid. I, h. 244.
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur'an, (Cet. VII. Jakarta: Lentera Hati, 2006), Vol. 2, h. 259.
[13]
Ibid., h. 70.
[14] Muhammad Ibn
Isma'il Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz 1 (Beirut: Dar
Ibn al-Kasir. 1422 H), h. 54.
[15]
Fathul Bahri An-Nabiry, Meneliti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan
Para Da’I, (Cet. I. Jakarta: Amzah, 2008), h. 184-185.
[16] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Cet. I.
Jakarta: Lentera Hati, 2010), Jilid 2, h. 193-194.
[17] Abu Jafar at-Thabari, Jami’ al-Bayan fii tafsir al-Qur’an ,
Jilid 14, h. 359.
[18] An-Naisaburi, Gharaibul Qur’an wa Raghaibul Furqan, (Bairut:
Dar kutubil ‘ilmiyah), h. 107.
[19] Muslim Ibn
al-Hajaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz 2
(Bairut: Dar Ihya al-Turas al-'Arabi), h. 2004.
[20] Ibid., h.
2003.
[21] Abdul Aziz Ibn
Baaz, Majmu Fatawa wa Maqolat Mutanawwiyah, h. 155-156.
[22] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur'an, (Cet. VII. Jakarta: Lentera Hati, 2006), Vol. 2, h.
259.
[24] Fathul Bahri
An-Nabiry, op.cit., h. 173.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar