LAUTAN ILMU

Minggu, 09 Februari 2014

Etika Dakwah Menurut al-Qur'an

ETIKA DAKWAH
·         QS. Ali Imran/3: 159
Terjemahnya:
“Maka, berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.”
A.    Makna Mufradat
ما adalah الموصول اسم yang bermakna tawkid. Ibnu Kaisan berpendapat bahwa ما adalah isim nakirah dalam kedudukan majrur, sedangkan kata   رحمة adalah badal dari ما.[1]
Kata رحمة berasal dari akar kata رحمة - يرحم - رحم  yang pada dasarnya menunjukkan kepada arti kelembutan hati, belas kasih, kehalusan. Kata رحمة dalam ayat ini menunjuk kepada Allah swt. sebagai subjek utama pemberi rahmah.[2]
Maka kalimat فبما رحمة من الله لنت لهم  menunjukkan bahwa tatkala Nabi Muhammad saw. bersikap lemah lembut pada bawahannya pada perang Badar dan beliau tidak bertindak kasar kepada mereka, maka Allah menyatakan bahwa Muhammad saw. dapat berbuat demikian hanyalah berkat taufik-Nya semata kepadanya.[3]



Kata " الفظ " berarti bersikap kasar dan keras tabiat dalam bergaul, baik perkataan maupun sikap.[4] Disini ditegaskan bahwa andaikata engkau (Muhammad) bersikap kasar dalam muamalah dengan kaum muslimin, niscaya mereka akan lari atau bubar.
Kata " الغليظ " merupakan kata sifat dan berasal dari يغلظ - غلظ yang digunakan untuk menyebut keadaan suatu benda atau sikap seseorang, seperti tebal,kasar,dan berat, atau keras.[5] Di dalam QS. Ali Imran/3: 159, kata غليظ berarti keras dan memuat pengandaian, yaitu andaikata Nabi saw. bersikap keras maka pasti pengikutnya menjauhkan diri.
Kata " انفضوا " berarti mereka bubar. Dalam ayat ini berarti tentu mereka akan lari. Al-Maraghi menafsirkan ayat ini bahwa kaum muslimin akan lari meninggalkan engkau (Muhammad) apabila engkau bersikap kasar dalam menyampaikan syariat Allah.[6]
" فاعفوا عنهم " dalam ayat ini berarti maafkanlah mereka atau dapat juga diartikan membuka lembaran baru dan member maaf. “Maaf”, secara harfiah berarti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar.[7]
" واستغفر لهم " berarti mohonkanlah ampunan untuk mereka. Pesan yang terdapat dalam ayat ini, apabila ingin mencapai yang terbaik dari hasil musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis dan yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi.[8]
Kata   " شاور "dapat berarti menjelaskan, menyatakan, mengambil sesuatu, atau meminta pendapat.[9] Dalam QS. Ali Imran/3: 159, kata ini diungkap dalam konteks perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw. agar berlaku lemah lembut dan senantiasa bermusyawarah.
Yang dimaksud dengan " الامر " dalam ayat tersebut adalah hendaklah engkau menempuh jalan musyawarah dalam segala urusanmu. Kendatipun dalam bermusyawarah itu sering terjadi kekeliruan, namun pada dasarnya tetap menuju ke jalan yang benar dan mendatangkan manfaat.[10]
Makna " عزم " dalam ayat ini adalah memutuskan atau keyakinan hati untuk melakukan sesuatu dan menyelesaikannya.[11]
Maksud " اتوكل " dalam ayat ini, apabila engkau telah sepakat dalam bermusyawarah, atau telah melakukan suatu pekerjaan dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka berserah dirilah (bertawakkallah) kepada Allah.[12]
Kalimat " ان الله يحب المتوكلين " dalam ayat ini bermakna, orang-orang mempercayakan segala urusannya hanya kepada Allah, maka Allah akan menolong dan membimbing mereka kepada yang lebih baik, sesuai dengan apa yang dicita-citakan.[13]
B.     Etika Dakwah
            Pada ayat diatas disebutkan petunjuk sikap yang diperintahkan untuk dilakukan Nabi Muhammad saw. dalam menghadapi umatnya, khususnya ketika bermusyawarah atau menyampaikan syariat agama. Walaupun secara redaksional perintah tersebut disematkan kepada Nabi saw., namun pesan yang terdapat pada ayat tersebut bisa berlaku umum bagi tiap muslim yang melakukan musyawarah atau dakwah. Diisyaratkan pada ayat tersebut mengenai sikap yang harus dilakukan untuk mensukseskan musyawarah atau dalam menyampaikan syariaat agama, sifat atau sikap tersebut yaitu sebagai berikut.
1.      Lemah lembut
            Islam mengajarkan umatnya agar bersikap lemah lembut dalam berdakwah atau mengajak kebaikan.  Rasulullah saw. dikenal kelemahlembutannya dalam mengemban risalah Islam. Karena sikap lemah lembut beliau itu pula Islam memiliki daya tarik sangat kuat.
            Kelemahlembutan Rasul merupakan bagian dari rahmat Allah yang tak terbatas. Kelemahlembutan adalah sifat yang ditanamkan Tuhan kedalam jiwanya terkait dengan fungsinya sebagai dai. Sifat ini hendaknya mewarnai kehidupan para dai sebagai pelanjut risalah dakwah
Bersikap lemah lembut juga merupakan bagian dari kasih sayang. Salah satu faktor penunjang keberhasilan sebuah dakwah adalah sang dai memiliki sifat lemah lembut, serta tidak menunjukkan watak yang keras lagi kasar. Sifat inilah yang senantiasa dipraktikkan oleh Rasulullah saw. yang seandainya beliau bersikap kasar dalam berdakwah, tentulah umat manusia yang beliau dakwahi justru akan menjauhkan diri dari beliau.
Dalam ayat ini juga bertemulah pujian yang tinggi dari Allah swt. terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada umatnya, yang telah dituntun dan didiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalahan beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena loba akan harta atau sebab yang lainnya, namun Rasulullah saw. tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin. Dalam ayat ini Allah swt. menegaskan sebagai pujian kepada Rasulullah saw. bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah sifat rahmah-Nya. Rasa rahmah, belas kasihan, cinta kasih sayang itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmah itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin.
Pada suatu hari ada seorang Badui yang buang air kecil di Masjid. Melihat kejadian itu para sahabat menjadi berang, lalu memarahinya. Melihat hal itu, Rasulullah saw. bersabda:
قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي المَسْجِدِ، فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ، فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ، أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِين [14]
Artinya:
Biarkanlah, dan siramlah bekas air seninya dengan satu ember atau satu gayung air. Kalian disuruh untuk mempermudah dan bukan untuk mempersulit.
Dalam peristiwa ini ada pelajaran sangat berharga yang harus dipahami oleh para dai. Ada orang buang air kecil di masjid. Memang ini merupakan pemandangan yang membuat darah mendidih, tetapi kita dapat melihat bagaimana Rasulullah saw. menyikapi kejadian ini. Rasulullah membiarkannya dan menyuruh para sahabat agar menyiram bekas air seni itu, karena Rasulullah saw. mengetahui bahwa perbuatan semacam ini tidak akan dilakukan, kecuali oleh orang yang baru masuk Islam, dan orang semacam itu butuh belajar, bukan malah dimarahi dan dimurkai.
Allah swt. berfirman dalam QS. an-Nisa/4: 94
Terjemahnya:
“Demikian jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. an-Nisa/4: 94)
Siramlah bekas air seninya dengan seember air, demikianlah Rasulullah langsung memberikan solusi, tanpa disertai rasa marah dan benci, bahkan beliau mendekatinya dengan penuh kasih sayang. Setelah itu beliau bersabda: Kalian diutus untuk mempermudah dan bukan untuk mempersulit.
Seakan-akan Rasulullah saw. bersabda kepada setiap muslim, “Sesungguhnya kamu mempunyai tugas untuk berdakwah dengan bijaksana dan dengan nasihat yang baik.”
Orang-orang seperti orang Badui itu adalah sasaran dakwah kita. Lalu bagaiman kita akan bisa mendakwahi, jika sebelumnya sudah memarahi dan menyakitinya? Sesungguhnya, nasihat itu laiknya obat yang pahit. Oleh karena itu, ia harus disertai dengan sesuatu dari ucapan yang manis. Sesungguhnya sikap lemah lembut merupakan sesuatu yang akan menjembatani anatara dai dengan mad’u-nya. Apabila kokoh dalam meletakkan jembatan itu, maka sang dai akan sampai kepada mad’u sesuai dengan apa yang diinginkannya. Oleh karena itu, janganlah tergesa-gesa dalam menawarkan dakwah kepada manusia, sebelum seorang dai meletakkan jembatannya dan memperkuat serta menghiasinya dengan sikap lemah lembut. [15]
Keharusan bersikap lemah lembut dipertegas juga oleh QS. Thaha/20: 43-44 yang berbunyi:
Terjemahnya:
“Pergilah kamu kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”
Ayat ini menjelaskan bahwa nabi Musa as. Diperintahkan untuk menyampaikan dakwah kepada Firaun yang tiran itu. Ini berarti bahwa menyampaikan peringatan pun harus dengan lemah lembut. Ayat-ayat yang menggunakan redaksi “Fabbasysyirhum bi ‘adzabin alim” (Gembirakan mereka dengan siksa yang pedih), bukan saja mengandung makna ejekan, tetapi dapat juga mengisyaratkan bahwa peringatan itu bukan untuk menakut-nakuti, tetapi justru mengandung berita gembira bagi yang mengindahkannya.[16]
Lemah lembut sama sekali bukan kelemahan. Orang yang lemah lembut sesungguhnya memiliki wibawa yang besar. Ia akan disegani. Kelemahlembutan yang sejati selalu diikuti oleh kebajikan kesabaran dan penguasaan diri. Orang lemah lembut akan memiliki pula kebajikan kekuatan, dan keberanian yang tak tergoncangkan. Ia seperti aliran air yang tenang, tetapi dapat mengikis dan menghaluskan batu sekasar apa pun.
            Tetapi dalam ayat lain Allah swt. memerintahkan Nabi-Nya untuk menggunakan sikap keras dan tegas ketika berhujjah dengan kaum munafik.
Allah swt. berfirman dalam QS. at-Taubah/9: 73 yang berbunyi :  
Terjemahnya:
“ Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
Ibnu Abbas ra. dalam menafsirkan ayat di atas berkata: “Allah memerintahkannya (yakni Nabi Muhammad saw.) untuk berjihad (melawan) orang-orang kafir dengan pedang sedangkan orang-orang munafik dengan lisan dan menghilangkan sikap lemah lembut terhadap mereka.”[17]
Imam Ar Razi rahimahullah berkata: “Sikap lemah lembut dan kasih sayang hanya diperbolehkan apabila tidak menyebabkan pengabaian terhadap salah satu hak Allah. Jika sikap itu membawa kepada kondisi yang demikian maka tidak diperbolehkan.” Akan tetapi jika hal itu menyebabkan pengabaian terhadap hak-hak Allah maka dalam hal ini tidak berlaku sikap lemah lembut melainkan dengan bersikap keras.[18]
Bersikap lemah lembut dalam dakwah bukan berarti tidak punya pendirian, apalagi bersikap toleran terhadap keburukan. Lemah lembut hanya suatu cara untuk menyampaikan kebenaran dan mendidik orang lain agar tunduk kepada kebenaran.
Sebagaimana juga ditegaskan dalam sabda Rasulullah. saw:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْمِقْدَامِ وَهُوَ ابْنُ شُرَيْحِ بْنِ هَانِئٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ»[19]
Artinya:
“Sesungguhnya lemah lembut itu tidak ada pada sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidaklah (lemah lembut itu) dicabut dari sesuatu kecuali menjelekkannya.”
                        Dan Rasullullah juga bersabda dalam kitab Sahih Muslim:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ، عَنْ تَمِيمِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ، عَنْ جَرِيرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ، يُحْرَمِ الْخَيْرَ»[20]
Artinya:
“Barang siapa terhalang dari lemah lembut maka dia terhalang dari seluruh kebaikan.”
                        Maka seorang dai harus memilih cara-cara yang baik dan bermanfaat, dan harus menjauhi sikap keras dan kasar. Karena sikap keras dan kasar itu, kadang-kadang mengakibatkan kepada tertolaknya kebenaran, dan mengakibatkan kepada persilisihan yang keras serta perpecahan di antara sesama manusia. Tujuan dakwah adalah menjelaskan kebenaran dan berambisi supaya dia menerimanya dan mendapatkan faedah dari dakwah itu. Bukan tujuan dakwah itu, menampakkan (memamerkan) keilmuan dan menampakkan bahwa orang yang berdakwah kepada jalan Allah dan  yang berghairah (cemburu) kepada agama Allah ini, hanya Allah lah yang mengetahui isi hati yang tersembunyi. Hanya saja tujuan dari dakwah itu adalah  menyampaikan seruan Allah dan supaya orang-orang mendapatkan manfaat dari ucapan orang yang berdakwah.[21]
2.      Pemaaf
Maaf, secara harfiah, berarti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang pernah melukai fisik atau perasaan. Maka para dai harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika berdakwah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan bila hal  itu masuk ke dalam hati, maka akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah menjadi pertengkaran.[22]
Memaafkan kesalahan atau perilaku kasar seseorang juga merupakan akhlak seorang dai yang utama. Ubadah bin Ash Shamit meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Maukah kalian kuberitahu tentang sesuatu yang dipergunakan Allah untuk memperkokoh bangunan dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab: “Mau, ya rasulullah!” Beliau menjelaskan: “Hendaknya engkau sabar menghadapi gangguan orang bodoh, memaafkan orang yang berbuat zhalim kepada dirimu, memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadamu, dan memutuskan hubungan dengan orang yang memutuskannya denganmu.” (At Thabrani)
3.      Meminta Ampunan Allah
Orang yang berdakwah harus menyadari kecerahan atau ketajaman pemikiran, karena analisis akal saja tidaklah cukup. Artinya, hasil pemikiran akal tidak boleh menghasilkan keputusan yang bisa melanggar aturan Allah swt. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang terbaik ketika berdakwah atau musyawarah, hubungan dengan Allah pun harus dijaga.[23]
Oleh karena itu sebagai seorang dai atau pendakwah hendaklah kita senantiasa memohon ampunan Allah swt, baik untuk pribadi maupun untuk umat pada umumnya, agar perjalanan dakwah kita senantiasa diridhai oleh Allah swt.
4.      Bertekad Bulat dan Tawakal
Firman Allah swt.

Terjemahnya:
Apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS. Ali Imran/3: 159)
Inti dari ayat di atas adalah untuk membentuk pribadi yang selalu tawakal kepada Allah swt. Apabila langkah telah diambil, pantang mundur ke belakang, pantangkan berbalik surut, dan serahkan diri kepada Allah swt. semua hal kita perhitungkan, tetapi dengan tawakal kita selalu ingat, bahwa ada hal-hal yang terletak di luar perhitungan kita.
Bertawakal artinya menyandarkan diri sepenuhnya hanya kepada ketentuan Allah SWT. Hal ini dilakukan setelah mengerahkan semua daya dan upaya semaksimal mungkn, misalnya dengan mengerahkan segenap kemampuan, harta dan usaha. Setelah semua dilakukan, maka kita harus bertawakal dan berdoa menunggu datangnya pertolongan Allah dengan sabar dan penuh pengharapan.
Dengan bertawakal, maka seseorang akan bersyukur apabila apa yang diusahakan membuahkan hasil sesuai dengan harapannya. Namun apabila tidak sesuai harapan, maka dia bersabar dan tidak akan putus harapan sehingga akan berusaha kembali. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri.[24]
C.    Hikmah atau Pesan Moral
1.      Senantiasa bersikap lemah lembut dalam menghadapi umat. Sebagaimana kelemahlembutan Rasul merupakan bagian dari rahmat Allah yang tak terbatas. Kelemahlembutan adalah sifat yang ditanamkan Tuhan ke dalam jiwanya terkait dengan fungsinya sebagai dai dan sifat ini hendaknya mewarnai kehidupan para dai sebagai pelanjut risalah dakwah;
2.      Bersikap lapang dada sehingga mudah memaafkan kesalahan umat;
3.      Membangun komunikasi personal dengan Allah dengan senantiasa memohon agar Allah mengampuni dosa dan kesalahan umat;
4.      Bermusyawarah dalam menghadapi dan menyelesaikan urusan mereka;
5.      Mengambil keputusan yang tepat dan mantap dalam bermusyawarah dengan kebulatan tekad untuk mewujudkannya;
6.      Bertawakal kepada Allah, jika suatu perencanaan sudah dilakukan dengan cermat dan diputuskan dengan hati yang mantap.





DAFTAR PUSTAKA
-Bukhari, Muhammad Ibn Isma'il Abu Abdullah. Sahih al-Bukhari. Juz 1, Beirut: Dar Ibn al-Kasir, 1422.
Ibn Baaz, Abdul Aziz. Majmu Fatawa wa Maqolat Mutanawwiyah.
Jafar, Iftitah. TAFSIR AYAT DAKWAH: Pesan, Metode, dan Prinsip Dakwah Inklusif. Cet. I; Makassar: Mishbah Press. 2010.
-Nabiry, Fathul Bahri. Meneliti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i. Cet. I; Jakarta: Amzah, 2008.
-Naisaburi. Gharaibul Qur’an wa Raghaibul Furqan. Bairut: Dar kutubil ‘ilmiyah.
-Qusyairi, Muslim Ibn al-Hajaj Abu al-Husain. Sahih Muslim. Juz 2, Bairut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi.
Shihab, M. Quraish. Membumikan  al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2010.
_______. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an. Cet. 7; Jakarta: Lentera Hati, 2006.
-Thabari, Abu Jafar. Jami’ al-Bayan fii tafsir al-Qur’an . Jilid 14.
Tim Penyusun. Ensiklopedia Al-Qur'an: Kajian Kosa Kata. Cet. I; Jakarta: Lentera Hati. 2007.




[1] Iftitah Jafar, TAFSIR AYAT DAKWAH: Pesan, Metode, dan Prinsip Dakwah Inklusif, (Cet. I. Makassar. Mishbah Press. 2010), h. 62.
[2]  Tim Penyusun, Ensiklopedia Al-Qur'an: Kajian Kosa Kata, (Cet. I. Jakarta. Lentera Hati. 2007). Jil. III, h. 811.
[3] Iftitah Jafar, op. cit., h. 63.                
[4] Ibid., h. 64.
[5] Tim Penyusun, op. cit., jilid. I, h. 244.
[6] Iftitah Jafar, op. cit.,  h. 65.
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, (Cet. VII. Jakarta: Lentera Hati, 2006), Vol. 2, h. 259.
[8]  Ibid., h. 260.
[9]  Tim Penyusun, op. cit., h. 966.
[10]  Iftitah Jafar, op. cit., h. 69.
[11]  Tim Penyusun, op. cit., h. 38.
[12]  Iftitah Jafar. op. cit., h. 69.
[13]  Ibid., h. 70.
[14] Muhammad Ibn Isma'il Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz 1 (Beirut: Dar Ibn al-Kasir. 1422 H), h. 54.
[15]  Fathul Bahri An-Nabiry, Meneliti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’I, (Cet. I. Jakarta: Amzah, 2008), h. 184-185.
[16]  M. Quraish Shihab, Membumikan  al-Qur’an, (Cet. I. Jakarta: Lentera Hati, 2010), Jilid 2, h. 193-194.
[17]  Abu Jafar at-Thabari, Jami’ al-Bayan fii tafsir al-Qur’an , Jilid 14, h. 359.
[18]  An-Naisaburi, Gharaibul Qur’an wa Raghaibul Furqan, (Bairut: Dar kutubil ‘ilmiyah), h. 107.
[19] Muslim Ibn al-Hajaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz 2 (Bairut: Dar Ihya al-Turas al-'Arabi), h. 2004.
[20] Ibid., h. 2003.
[21] Abdul Aziz Ibn Baaz, Majmu Fatawa wa Maqolat Mutanawwiyah, h. 155-156.
[22]  M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, (Cet. VII. Jakarta: Lentera Hati, 2006), Vol. 2, h. 259.
[23] Ibid., h. 260.
[24] Fathul Bahri An-Nabiry, op.cit., h. 173.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar