BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam
studi Al-Qur’an, nama Al-Baidawi dikenal sebagai salah seorang mufassir yang
cukup terkenal dengan kitab tafsirnya Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil. Kitab
ini sangat popular baik di kalangan umat Islam maupun non-Islam (baca: Barat).
Maka dari itu kami selaku penulis
berinisiatif mengulas mengenai kitab tafsir tersebut, walaupun topik ini
beranjak dari amanah dosen pembimbing yang mengajarkan mata kuliah kami.
B.
RUMUSAN MASALAH
a.
Siapakah yang disebut al-Baidawi ?
b.
Apa yang melatarbelakangi al-Baidawi menulis kitab tafsir ?
c.
Bagaimana metode penafsiran al-Baidawi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkapnya adalah Imam Abdullah bin Umar bin
Muhammad bin Ali ad-syairazi, Abu Said Abu al-Khair Nasiruddin al-Baidhawi,
berasal dari sebuah desa bernama Baidho’ bagian dari negara
Persia (Iran). Beliau wafat pada tahun 685 H/1282 M), mengenai tahun kelahiran
beliau, ulama belum menemukannya baik waktu dan tempatnya. Ia adalah anak dari seorang hakim agung di Fars
(Iran Barat daya) di bawah Attabeg (gelar pejabat militer bani Seljuk) yaitu
Abu Bakar bin Sa’ad (613-658 H/1226-1260 M). Ia adalah seorang hakim agung,
pakar dibidang bahasa arab, seorang yang ahli debat dan etika berdiskusi di
Syiraz. Kemudian menetap di Tabriz sampai wafatnya .[1] Ia sendiri juga seorang yang amat alim,seorang ahli tafsir,
fiqhi, ushuluddin, bahasa arab dan mantiq.[2]
Menyusun banyak buku-buku tentang ilmu pengetahuan, dia dengan mudah meraih
pangkat itu setelah membuktikan kepandaian dan kejeniusannya. Di antara
karya-karyanya di bidang ilmu pengetahuan yang paling terkenal adalah tafsir Anwar
at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, tafsir ini lebih dikenal dengan tafsir
al-Baidhawi. Dan dia juga
mengarang buku mengenai syari’ah, fiqih, teologi skolastik dan tata bahasa. Karya-karyanya itu
secara umum bukanlah tulisan asli, melainkan berdasarkan tulisan-tulisan para
penulisan lain. Dan dia dikenal juga karena keringkasannya dengan cara
menggabungkan berbagai ilmu-ilmu yang sudah ia pelajari. Akan tetapi
karya-karyanya itu dianggap cacat karena kurang lengkap dan juga disalahkan
karena ketidaksamaan. Di antara karya-karyanya yang dikomentari oleh penulis lain adalah kitab Minhaj al-Wusul
ila ilmu usul. Karangan ini diterbitkan pada tahun1316, dan dikomentari
oleh Abdur Rahman bin al-Isnawi, buku tentang metafisika yaitu Tawali
al-Anwar min Matali al-Anzar karya
ini dikomentari oleh Mahmud bin Abdurrahman al-Isfahani.[3]
Dan masih banyak lagi karya-karya al-Baidhawi yang dikomentari oleh
penulis-penulis lain. Inilah suatu bukti bahwa kelemahan karya-karya
al-baidhawi terletak pada keringkasan karya-karyanya. Namun di lain sisi, itu
juga yang menjadi kelebihannya, karena keringkasannya, membuat mudah pembaca
dalam membaca karya-karya al-Baidhawi dan didukung oleh kemampuan bahasa yang
dimiliki oleh al-Baidhawi, dan diakui oleh banyak mufassir di zamannya dan
zaman sesudahnya. Membuat pembaca lebih mudah memahaminya. Dia juga banyak
mendapat pujian-pujian diantaranya adalah, Ibnu Suhbah berkata dalam kitab
Tabaqatnya, ”ia banyak karangan, ulama terkemuka negeri azerbaijan, guru dan
syaikh daerah itu”. Imam Subki juga berkata ” Dia adalah imam yang jeli, ahli
debat, saleh dan ahli ibadah”. Ibnu Habib juga berkata ”Para imam juga telah
menguji karangan-karangannya, sekiranya dia tidak memiliki selain metodologi
yang ringkas detail lafaznya itu saja sudah cukup”.[4]
B. LATAR
BELAKANG PENULISAN
Kitab tafsir al-Baidawi dinamainya sendiri dengan Anwar
al-Tanzil Wa Asrar al-Ta’wil. Hal ini tampak dalam dari pernyataan beliau
sendiri sebagaimana terdapat dalam pengantar tafsirnya sebagaimana dikutip oleh
al-Dzahabi:
“Setelah melakukan shalat istikharah, saya memutuskan
untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu mulai menulis dan
menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan buku ini,
setelah selesai penulisannya, dengan Anwar al-Tanzil Wa Asrar al-Ta’wil”.
Al-Baidawi menyebutkan dua alasan yang mendesaknya untuk
menulis buku ini. Pertama, bagi al-Baidawi, tafsir dianggap sebagai ilmu yang
tertinggi di antara ilmu-ilmu agama yang lain. Kedua, melaksanakan apa yang
telah diniatkan sejak lama yang berisi tentang fikiran-fikiran terbaik. Setelah
merasa mampu melakukan cita-cita itu, mulailah ditulis kitab tafsir Anwar
al-Tanzil Wa Asrar al-Ta’wil tersebut. Dalam penulisan tafsirnya, beliau
dibimbing oleh gurunya, Syaikh Muhammad al-Khata’I, ulama yang menyarankan
al-Baidawi untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim agung. Penulisan kitab
tafsir inipun dikaukan secara ringkas, tanpa menguraikannya secara panjang
lebar.[5]
C. MAZHAB FIQHI
DAN TEOLOGI
Mazhab fiqhi yang dianut oleh
Al-Baidhawi adalah mazhab Syafi’i. Hal ini dibuktikan dengan penafsirannya
tentang cara membasuh kepala, apakah semuanya ataukah sebagian saja.
Al-Baidhawi menafsirkan ayat
وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ
Dengan kata ”Ba”
berarti ”Ba Mazidah” atau sebagian.[6] Berarti menurut Al-Baidhawi dalam membasuh
kepala hanya sebagian dari kepala saja (sah) namun lebih baik membasuh
semuanya, hal ini bersinergi dengan pendapat dari Imam Syafi’i.
Sedangkan Mazhab teologi yang
dianut oleh Imam Al-Baidhawi adalah Asy’Ariyah hal ini dibuktikan dengan
penafsirannya tidak mengambil pendapat dari Al-Kasysyaf yang berbau Mu’tazilah.
Dan juga dibuktikan dengan penafsirannya dalam surat Al-Qiyamah ayat 23
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Al-Baidhawi
menafsirkan ayat ini bahwa manusia akan melihat langsung Tuhannya.[7]
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Asy’Ariyah.
D. METODE
PENAFSIRAN AL-BAIDHAWI
Anwar at-Tanzil wa Asrar at’Ta’wil, itulah judul
dari tafsir yang ditulis oleh al-Baidhawi, dan lebih dikenal dengan tafsir al-Baidhawi.
Tafsir ini merupakan salah satu kitab yang populer di dunia Islam, yang
memiliki banyak manfaat, gaya bahasa yang indah, perumpamaan yang manis, dan
banyak diminati para pakar dan cendekiawan terkemuka untuk mengkaji dan
memberi catatan pinggir (komentar) terhadapnya, hingga tercatat sebanyak 83
buah kitab yang berisi hal itu. Dan, kitab yang terkenal memberikan catatan
pinggir terhadap Tafsir al-Baidhawi di antaranya adalah catatan pinggir Syekh
Zadah dan Syihab al-Khaffaji (‘Inâyat al-Qâdhi).[8]
Karyanya ini merupakan ringkasan dari tafsir
al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari. Namun
al-Baidhawi tidak mengikuti pemikiran-pemikiran dari az-Zamakhsyari yang
bernuansa Mu’tazilah karena al-Baidhawi seorang yang bermazhab asy’ariyah. Kitab
ini tidak terhindar dari hadis-hadis dha’if atau palsu, dan cerita israiliyat
(walau sedikit sekali) pada pembahasan akhir surat tentang
keutamaannya. Isinya dibuat semodel ringkasan (ikhtishâr),
mengandung berbagai pemikiran, pandangan-pandangannya diarahkan pada banyak
dimensi gramatika bahasa, fiqh, dan ushul yang terkandung dalam ayat-ayat
al-Quran, dan begitu juga dari sudut pandang bacaan (qirâat) dan makna
intrinsik ayat (isyârât), serta mengkombinasikan antara tafsir dan
takwil berdasarkan kaidah-kaidah bahasa dan syar’i. Metode penafsirannya
dibuat sebagaimana umumnya kitab-kitab tafsir, menyebutkan nama surat,
mengaitkan dengan konteks turunnya, baru menafsirkan ayat demi ayat, serta
mengangkat hadis tentang keutamaannya pada akhir surat tersebut. [9]
Pemilik kitab al-Kasyaf adz-Dzunnun berkata, ”Tafsir
al-Baidhawi adalah kitab yang mulia, tidak butuh penjelasan lagi, ia merangkum
dari kitab al-Kasyaf, yang berkaitan dengan i’rab, ma’ani, dan bayan. Dari
tafsir kabir karya ar-Razi dia merangkum yang berkaitan dengan hikmah dan ilmu
kalam, dari tafsir al-Raghib yang berkaitan dengan pengambilan kata dan
rumitnya kebenaran-kebnaran serta kehalusan isyarat. Ia menghimpun
kerangka-kerangka pemikirannya dengan rasional. Dengan demikian, tersingkaplah
kotoran keraguan dari rahasia-rahasia, dan ilmu semakin bertambah luas. Oleh
karenanya, Maulana al-Munsyi berkomentar ”Para cendekiawan tidak datang, dengan
menyingkap cadar (Qina’) dari apa yang dibaca, tetapi al-Baidhawi memiliki
tangan yang putih berkilau tanpa cacat, karena ia orang yang menguasai medan
kemahiran bicara.[10]
Tafsir al-Baidhawi adalah tafsir ra’yu, karena, dalam
menafsirkan dia sangat memperhatikan
hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah dan sangat waspada terhadap
riwayat-riwayat yang dha’if dan maudhu’.Berpegang pada ucapan sahabat Nabi,
karena apa yang mereka katakan, menurut peristilahan hadis hukumnya mutlak
marfu’ (shahih atau hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbabunnuzul, dan
berpegang pada kaidah bahasa arab dan berpegang pada maksud ayat, dan harus
terjamin kebenarannya menurut aturan dan hukum syara’.[11]
Al-Baidhawi sangat menaruh perhatian kepada penyajian
dalil-dalil berdasarkan pokok-pokok pemikiran ahlus-sunnah wal jama’ah, di
samping perhatiannya kepada kaidah-kaidah bahasa (arab). Tapi ia tidak selalu
tetap dalam meriwayatkan hadis-hadis pada akhir tiap surah untuk menjelaskan
keutamaannya. Sebagian besar
hadis-hadis yang diriwayatkan bukan hadis-hadis sahih.
E. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
a.
Kelebihannya:
i.
Merupakan
ringkasan dari kitab tafsir al-Kasysyaf, sehingga dengan keringkasannya
memudahkan pembaca dalam membaca kitab tersebut.
b.
Kekurangannya:
i.
Adanya
kisah-kisah Israiliyat, seperti:
Ø
Kisah Talut dan Jalut (al-Baqarah 2: 248). Tafsiran ini
jelas menunjukkan terdapatnya unsur-unsur Israiliyat. Ini dapat dilihat
menerusi tafsiran ayat yang dilakukan oleh pengarang mengenai kerajaan Talut.
Dalam al-Qur’an, Allah swt ada menceritakan kerajaan Talut dan peti Tabut. Peti
Tabut ini diceritakan sebagai tempat menyimpan kitab Taurat, tetapi tidaklah
sampai kepada mempunyai segala nama dan rupa nabi-nabi dari Adam as hingga Musa
as.[12]
ii.
Adanya
pembuangan sanad pada periwayatan. Contohnya pada surah al-Nas.
عن النبي صلى الله
عليه وسلم « من قرأ المعوذتين فكأنما قرأ الكتب التي أنزلها الله تبارك وتعالى » .
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian
mengenai tafsir al-Baidawi di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil dari
makalah ini adalah:
1. Al-baidawi adalah seorang ahli tafsir
yang memiliki kitab tafsir yang ia namakan Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil.
2. Al-Baidawi
menyebutkan dua alasan yang mendesaknya untuk menulis buku ini. Pertama, bagi
al-Baidawi, tafsir dianggap sebagai ilmu yang tertinggi di antara ilmu-ilmu
agama yang lain. Kedua, melaksanakan apa yang telah diniatkan sejak lama yang berisi
tentang fikiran-fikiran terbaik.
3. Metodologi tafsir al-Baidawi, yaitu:
i.
Sumber:
bil-ra’yi.
ii.
Bentuk:
Tahlili
iii.
Corak : bahasa, fiqhi, dan teologi.
B. Implikasi
Demikianlah pembahasan tafsir al-Baidawi yang
sempat kami paparkan pada makalah ini dan kami sadar bahwa banyak terdapat
berbagai macam kesalahan baik itu mengenai penulisan dan penyusunan kata yang
membuat para pembaca kurang jelas untuk memahami makna tersebut.
Maka dari itu, silahkan memberikan saran dan
kritikan yang bersifat membangun apabila didalam pemaparan kami terdapat
berbagai kesalahan, sebagai suatu pembelajaran bagi kami supaya ke depannya
bias lebih baik lagi
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baidhawi. Anwar Tanzil wa Asrarut Ta’wil
Dewan redaksi, Ensiklopedi Islam. Cet 4. PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta. 2002
Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an
Dr.Subhi Shalih. Cet 10. Pustaka Firdaus:Jakarta.2008
Syahdianor dan Saleh,Faisal, Metodologi Tafsir (Kajian
konfrehensif metode para ahli tafsir Prof. Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud). PT
Grafindo Persada:Jakarta.2003
www.Pusat Studi Al-Qur’an.com
[2]
Syahdianor dan Saleh,Faisal, Metodologi
Tafsir (Kajian konfrehensif metode para ahli tafsir Prof. Dr. Mani’ Abd Halim
Mahmud). PT Grafindo Persada:Jakarta.2003. h.112
[5] http://desyahid.blogspot.com/2010/01/pemikiran-tafsir-anwar-al-tanzil-wa.html
[6]
Al-Baidhawi . Anwarut Tanzil Wa Asraru Ta’wil. Jilid. 2 h. 49
[8]
Pusat Studi Al-Qur’an. 2003
[9] Ibid
[10] Lihat Syahdianor dan Saleh, Faisal.
Op.cit h. 114
[11] Tim Pustaka
Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dr.Subhi Shalih. Cet 10. Pustaka
Firdaus:Jakarta.2008. h. 416
[12] http://www.ukm.my/~penerbit/jurnal_pdf/jis26-02.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar